Selasa, 27 Juli 2010

Budaya Indonesia Berakar di Cape Town

Budaya Indonesia Berakar di Cape Town. ORANG coloured (berwarna) yang dominan di Cape Town, sangat mengagungkan kebudayaan mereka yang sering disebut ghoema, coen, atau klopse. Bahkan, setiap tahun di akhir Desember sampai Januari, ada festival besar kebudayaan klopse. Dan, salah satu akar kebudayaan itu sebenarnya dari Indonesia.

Semua berawal di abad ke-17. VOC membangun benteng di Cape Town sebagai tempat transit antara Belanda dan Indonesia. Maklum, saat itu penjajahan VOC di Indonesia memasuki tahap awal dan dibutuhkan transportasi yang sering antara kedua negara.

Namun, di Cape Town sendiri butuh banyak tenaga untuk membangun pemukiman baru dan fasilitasnya. Maka, didatangkanlah budak-budak dari berbagai daerah, terutama dari India dan Indonesia.

Sebuah kedai kopi di Kampung Macassar, Cape Town, Afrika Selatan, tetap menulis namanya dalam bahasa Indonesia.

Jumlah budak India paing banyak. Namun, mereka kemudian tinggal di Natal. Sedangkan budak Indonesia terbanyak kedua dan tetap tinggal di Cape Town. Dulu, orang Indonesia disebut Malay, karena belum ada negara Indonesia. Maka, warga Cape Town yang sebagian besar keturunan Melayu pun akhirnya disebut Cape Malay. Mereka termasuk coloured people dalam kategori sistem Apartheid.

Budak Indonesia yang dibawa ke Afsel rata-rata punya keahlian, misalnya bertani, mencukur, menjahit, dan jago bermusik maupun bersyair. Mereka tetap mempraktikkan sebagian kebudayaan di daerahnya.

Sebuah opera berjudul Ghoema produksi David Baxter dengan penampil Baxter Theatre Center tahun 2006, mengambil setting cerita awal perbudaakan di Afsel. Dan, cerita ini lebih banyak bercerita tentang kehadiran, kebudayaan, dan kehidupan budak dari Indonesia.'

Lagu-lagu mereka pun dibuat bernuansa Melayu, dalam hal ini Indonesia. Jenis musiknya juga sama seperti musik Melayu atau dangdut. Mirip lagu-lagu Indonesia era 1950-an.

Budaya Politik Indonesia. Dalam sebuah lagu disebutkan banyak akta Indonesia, seperti "belajar", "piring", "pisang", "berkelahi", "rokok" dan sebagainya. Pakaian mereka juga khas Indonesia. Kadang memakai caping, kadang memakai peci. Seperti catatan di buku "Indonesians in South Africa: Historical Links Spanning Three Centuries", orang asing pertama yang dibawa VOC ke Afsel (Cape Town) adalah orang Indonesia. Africanhistory.about.com juga menyebutkan, budak pertama yang dibawa ke Cape Town berasal dari Indonesia pada tahun 1653. Namanya Abraham van Batavia.

"Batavia.... Batavia... Batavia..." begitu salah satu cukilan lagu dalam opera berjudul Ghoema, dinyanyikan dengan nada sedih. Ini mengisahkan para budak dari batavia (Jakarta) yang rindu kampung halamannya.

Selain budak, banyak pula tahanan politik di Indonesia yang dibuang VOC ke Cape Town. Salah satunya Syeikh Yusuf dan pengikutnya. Mereka bahkan sangat berpengaruh dan menyebarkan agama Islam dan menularkan budaya Indonesia.

Selama bertahun-tahun, orang Indonesia beranak-pinak dan terjadi kawin silang. Sehingga, Cape Malay sekarang harusnya banyak pula yang keturunan Indonesia. Karena itu, mereka disebut Cape Malay.

Kebudayaan Indonesia pun banyak yang mewarnai kebudayaan coloured atau Cape Malay. "Indonesians in South Africa: Historical Links Spanning Three Centuries" mencatat beberapa hal. Sebagai contoh tari Lingo Ayoen, tari Kusin, dan tari Beras.

Bahkan, debus pun terbawa ke Cape Town. Tapi, di Cape Town debus disebut "ratieb". Ini dimungkinkan dibawa pengikut Syeikh Yusuf. Sebagai catatan, Syeikh Yusuf punya banyak pengikut dari Banten, tempat debus berkembang. Dia bahkan mengawini anak Ki Ageng Tirtayasa (raja Banten).

Kosa kata bahasa Indonesia pun masih banyak dipakai orang Cape Malay. Achmad Davids dalam bukunya "Words the Cape Slaves Made" mencatat ada 40 kosa kata Indonesia yang sering dipakai di Cape Town. Di antara kosa kata itu adalah: taramakasie (terima kasih), katja, boeka, toelis, batja, kitab, soempah, syambole (cambuk), manieng-al (meninggal), granaa (gerhana), maskawi (mas kawin), agama, ghoenthoem 9guntur), gielap (kilat), dan kamar mandie dan sebagainya.

Pengaruh musik Indonesia pun juga kuat. ghoema sebenarnya sejenis genderang yang berasal dari Indonesia. Musik ini dipakai untuk merayakan pembebasan budak pada 1883. Instrumen yang dipakai dalam musik ghoema, coen atau klopse campuran dari alat musik Melayu dan Afrika.

Salah satu lagu mereka adalah "Ou Lamadie". Lagu itu menceritakan budak wanita yang diperkosa di suatu peternakan Belanda. Wanita itu hamil. Ketika anaknya lahir, semua orang menanyakan, "Ini anak siapa?".

Adat Indonesia juga ikut berpengaruh. Contohnya "Tjoekoer. Ini adat mencukur anak yang baru beruur seminggu. Sedikit rambutnya dicukur, seperti yang dilakukan sebagian orang Indonesia.

Rampie sny adalah kebiasaan wanita berkumpul di masjid dan mengiris daun jeruk kecil-kecil sebagai pewangi untuk perayaan Maulud. Ini sama dengan di Indonesia yang mengiris daun pandan kecil-kecil. Karena di Cape Town tak ada pandan, gantinya daun jeruk.

Ada juga pengaruh masakan Indonesia. Bubur, misalnya, di Cape town disebut Boeber. Sedangkan sago pudding mirip bubur sagu di Maluku. Hanya, di Cape Town resepnya memakai air mawar, kapulaga, susu (pengganti santan), dan tak memakai kenari.

Pengaruh makanan lain adalah kolwadjib (waji), sambal, blatjang, dan bobotie.

Jadi, sebenarnya kebudayaan Indonesia ada yang berakar di Cape Town.
(sumber : http://oase.kompas.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.